Side Hustle Saya: Menjadi Istri
Tulisan ini saya cicil di sela waktu kerja dan di tengah rasa kantuk yang berat. Rasanya kayak berusaha mengais sisa energi yang tersisa, karena belakangan ini, saya kelelahan terus.
Ketika Pekerjaan (Masih) Menyita Segalanya
Pekerjaan kantor saya minggu ini masih sama. Masih padat, masih pusing, dan makin banyak pekerjaan yang menggantung. Sayangnya, saat saya kelelahan, saya justru makin sering membuka media sosial—semacam coping mechanism yang salah arah.
Threads jadi pelarian utama. Di sana, teman-teman yang saya follow tampil produktif dan inspiratif. Ada yang sukses di YouTube, ada yang aktif membangun komunitas film, ada yang konsisten menjual kelas, dan ada pula yang berhasil bangkit dari akun yang sempat di-ban.
Sementara saya? Akun baru saya mentok di 20-an follower dan bahkan bingung mau diisi apa. (Untungnya, akun lama saya udah balik. Horee!)
Saya memutuskan: mulai aja dulu. Saya pun mulai menulis lagi, ngedit video pendek yang nggak selesai-selesai, dan belajar menyusun ulang identitas diri saya.
Semua ini sempat terasa seperti cara saya menyelamatkan diri dari kebuntuan.
Ibarat mencari tempat tujuan, saya berjalan tanpa peta, dan mencoba segala arah sambil berharap ada peta yang muncul.
Refleksi Sepuluh Tahun Berkarir
Tahun 2025 menandai sepuluh tahun saya berkarir di kantor saya yang sekarang. Bagi orang yang berkarir di perusahaan swasta, sepuluh tahun akan terasa sangat panjang. Untuk orang yang bekerja di instansi pemerintah seperti saya, sepuluh tahun berarti saya masih hijau.
Sepuluh tahun tetap cukup untuk membuat saya well-versed tentang tempat kerja saya. (Sedikit) lebih paham tentang seluk-beluk birokrasi dan proses kerja. Tahun ini jadi tahun ketiga saya menempati posisi first-line management, sebagai team leader.
Saya tidak makin pintar. Saya tidak merasa ahli.
Dan yang paling bikin panik: skillset saya seolah tidak bisa dibawa ke mana-mana.
Tidak bisa diubah jadi produk. Tidak bisa berdiri sendiri tanpa kantor. Di tengah kondisi ekonomi saat ini, rasanya menakutkan.
Maka saya mulai mencari: apa yang bisa saya kembangkan? Apa value saya?
Saya mencoba mengulik desain grafis, bidang yang saya tekuni selama ini. Tapi saya merasa kurang pas. Untuk saat ini saya tidak menikmati menulis soal desain. Saya lebih suka menulis opini atau perenungan.
(Tulisan ini adalah tulisan saya tentang desain grafis yang saya suka, karena isinya tidak desain-desain amat)
Mengembangkan proyek desain jadi sesuatu yang dijual?
Mungkin, tapi saya ingin melakukannya pelan-pelan saja. Mendesain untuk personal project sekarang justru terasa seperti beban tambahan.
Apa yang harus saya lakukan?
Saya tidak mau terjebak di sini, pikir saya.
Scrolling media sosial jadi alasan saya untuk mencari inspirasi. Melihat apa yang orang lain lakukan. Saya perlu ide. Apa pun yang mungkin nanti bisa menjadi penghasilan sampingan, terlepas dari peran saya sebagai karyawan.
Pokoknya, menjadi berdaya!
Saat Rumah Tangga Menjadi Prioritas Kedua
Di tengah kekalutan ini, ada satu sisi hidup saya yang diam-diam makin terabaikan: rumah tangga.
Belakangan ini, saya sering pulang kerja dalam keadaan lelah, sering langsung tidur tanpa sempat memasak atau membereskan rumah. Pekerjaan rumah ditumpuk di akhir pekan, lalu di akhir pekan saya terlalu capek untuk benar-benar mengerjakannya. Sering juga masih bekerja saat akhir pekan.
Kalau saya sedang jadwal kosong, suami saya yang kelelahan karena dinas luar kota. Jadwal berdempetan, atau saling berlomba-lomba pulang larut adalah siklusnya. Dan begitu seterusnya. Siklus lelah, siklus tunda, siklus yang membuat saya kadang merasa gagal sebagai pasangan.
Suami saya baik dan pengertian, dan mungkin itu yang bikin saya tidak langsung merasa bersalah. Jika bukan karena suami saya, saya kayaknya sudah menumpuk dosa dari kemarin.
Saya tahu: ada banyak hal kecil yang bisa saya lakukan untuk menunjukkan kasih dan perhatian, tapi saya tidak melakukannya. Saya tahu apa hal-hal yang ingin kami lakukan bersama, apa hal-hal yang suami saya harapkan, tapi saya tidak bisa memberikannya. Ini mengusik saya diam-diam.
Dan di sinilah titik baliknya.
Ternyata jawabannya ada dekat dalam diri saya.
Side Hustle saya akhir-akhir ini: Menjadi Istri
Saat orang-orang di sekitar saya sibuk mencari side hustle untuk menambah penghasilan, saya justru menyadari bahwa side hustle saya saat ini adalah menjadi istri.
Nyatanya saya ingin lebih berdaya sebagai seorang istri. Perihal berkarir di kantor, saat ini saya sudah merasa cukup.
Bukan berarti saya berhenti mengembangkan diri dalam pekerjaan. Saya masih akan meningkatkan kapasitas diri di kantor, tapi saya ingin hadir sebagai istri dengan prioritas penuh.
Begitu menuliskan ini, kepala saya rasanya jadi terang.
Inilah sebabnya mengapa saya tidak kunjung menemukan calon produk ideal.
Saya jadi paham mengapa saya tidak begitu tertarik menjabarkan portofolio kerja untuk tampak "profesional."
Saya jadi mengerti mengapa saya masih belum menemukan klik untuk mewujudkan "side hustle."
Karena yang saya cari bukan penghasilan tambahan, tapi keseimbangan peran yang sekarang timpang.
Menjadi Istri yang Berdaya dalam Rumah Tangga Versi Saya
- Alih-alih penghasilan tambahan, saya lebih membutuhkan sistem yang efisien supaya saya bisa memaksimalkan pendapatan yang saat ini dimiliki.
- Saya tidak ingin membebani pikiran saya dengan pekerjaan di luar pekerjaan utama.
- Saya ingin berbakti pada suami lebih baik, dan lebih berdaya di ranah pekerjaan rumah tangga.
- Saya ingin meluruskan niat saya: hadir penuh sebagai seorang istri, dengan kesibukan pekerjaan saat ini. Tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga emosional dan strategis.
Saya ingin menjadi istri yang dengan sadar meningkatkan kualitas diri untuk berbakti pada suami, tanpa kehilangan keberdayaan diri.
Langkah selanjutnya?
Surat ini adalah sebuah catatan akuntabilitas. Saya mau fokus belajar menjadi istri. Mengatur ulang kembali yang kemarin terlupa, membetulkan apa yang sebenarnya salah namun sudah terbiasa.
Prosesnya mungkin masih abstrak dan naik turun, tapi dengan menuliskan ini, saya nggak boleh lupa bahwa saya sudah berjanji.
Yang pasti, saya nggak perlu lagi pusing-pusing tentang skill apa yang harus saya tingkatkan, karena saya sudah menemukan targetnya: mentransfer hal-hal yang saya ketahui dalam pekerjaan dalam manajemen rumah tangga.
Nah, bagaimana caranya?
Soal itu, saya juga masih belajar. Surat dan blog saya akan jadi saksi tertulis saya.
Di antara rasa lelah dan pencarian makna ini, saya memutuskan: menjadi istri bukan pelarian, tapi peran yang ingin saya perjuangkan dengan sepenuh hati.
Mari kita lihat akan jadi apa jalan ini.
Kalau kamu juga sedang menata ulang peran dalam hidupmu, saya harap kamu juga menemukan jawabannya, pelan-pelan. 🌿
Wish me luck! 😃
Salam,
Mega
thanks for reading!3>
kirim komentar lewat email atau mention saya di threads.
Suka baca tulisan saya? langganan atau dukung saya lewat nihbuatjajan.