Gentle Sunday

Rencana Low Buy Year di Tahun 2025

Low-Buy Year

Meskipun nggak merayakan tahun baru, tahun baru adalah waktunya untuk me-reset banyak hal dalam kehidupan. Tahun 2025 ini, salah satu fokus besar saya adalah memperbaiki finansial, salah satunya dengan cara Low Buy Year.

Biasa, hasil nonton-nonton lifestyle vlogger, terbawa juga untuk memulai, terlebih karena saya memang sedang membutuhkannya.

Apa Itu Low Buy Year?

Low Buy Year adalah versi “ringan” dari No Buy Year, yaitu tantangan tidak membeli barang tertentu dalam satu tahun. Kalau No Buy Year artinya benar-benar nggak beli, Low Buy Year masih memberikan batasan untuk membeli, tapi dengan batasan-batasan tertentu.

Batasan ini siapa yang menentukan? Ya, kita sendiri.

Siapa saja bisa merencanakan low buy year dengan aturan pribadi, sama seperti no buy year. Intinya, tantangan ini dilakukan selama setahun penuh.

Saya memutuskan untuk menuliskan ini di blog sebagai bentuk komitmen: tuliskan, sampaikan pada siapa saja yang baca. Kalau saya buka blog, saya akan diingatkan lagi kalau saya udah berniat melakukan ini, jadi harus konsisten.

Mengapa Melakukan Low Buy Year?

Tiap orang punya alasan tersendiri, tapi pasti intinya sama: mengendalikan keuangan. 

Saya jarang banget pergi ke mal, tapi tiada hari yang saya lewatkan dengan melihat aplikasi belanja online. Entah menunggu barang datang, atau iseng saja melihat-lihat. Iseng melihat-lihat seringnya berakhir dengan memasukkan barang ke dalam keranjang, sering juga langsung check out. 

Waktu check out barang rasanya antusias, ingin cepat-cepat barang datang. Tapi saat barang datang, saya sadar bahwa saya sebenarnya nggak pengen-pengen amat dengan barang tersebut. 

Sepanjang 2024, hal ini terjadi beberapa kali. Jadi 2025, saya ingin memastikan hanya membeli barang yang benar-benar saya suka.

Kalaupun saya senang dengan barangnya, sebenarnya barang tersebut nggak harus dibeli saat itu juga. Harapannya, menahan diri untuk membeli juga bisa membuat saya mengurangi kebiasaan online shopping__, kecuali untuk hal-hal esensial. (Yes, I do household shopping online).

Saya ingin fokus membeli big ticket items  yang memang sudah saya rencanakan jauh-jauh hari; seperti furnitur untuk mengisi rumah, barang dengan kualitas baik dan dream wishlist, serta pengalaman yang memang memerlukan uang lebih, seperti liburan keluarga.

Tentu saja, juga untuk meningkatkan saldo tabungan dana darurat yang masih belum ngumpul sesuai target :)

Aturan Main Low Buy Year yang Saya Terapkan

Berikut adalah aturan main saya untuk menjalani low buy year ini. Saya menggunakan pembeda sederhana, yaitu lampu hijau, lampu kuning, dan lampu merah. 

Boleh Dibeli (Lampu Hijau)

Pada dasarnya, yang boleh dibeli adalah kebutuhan utama sandang, pangan, dan papan. Makanan sehat, serta keperluan esensial seperti sabun, deterjen, pembersih lantai, dan sebagainya.

Cemilan dan jajanan jelas bukan kebutuhan utama, tapi memang sulit menghentikan ketika pasangan kamu juga tukang jajan (hahaha). Ini harus saya rincikan lagi, tapi nanti deh nyusul.

Untuk barang lainnya seperti skincare, baju, sepatu, dan sejenisnya, saya boleh langsung membeli barang kalau barangnya ada yang habis, dan saya tidak boleh membeli barang lain untuk coba-coba.

Kalau ada barang yang rusak, dan memang itu penting, saya juga boleh membeli penggantinya saat itu juga. Misalnya: setrika. Atau hair dryer. Wow tanpa dua benda itu saya bakal kerepotan.

Untuk pakaian alias sandang, bisa saya beli khusus dengan syarat, yang akan saya jelaskan di bagian berikutnya.

Hentikan Pembelian, Kecuali Long-Term Wishlist (Lampu Kuning)

Tahun kemarin masih ada kebobolan. Saya beli (cukup banyak) parfum decant, lipstik, dan tas. Keranjang belanja di e-commerce tetap penuh. Terus terang, hal-hal yang ada di bawah ini adalah kesukaan saya, jadi susaaah banget rasanya menahan diri.

Parfum

Parfum decant saya beli karena alasannya itu decant (jadi kecil), dan sekalian nyariin parfum suami (yang ini alasan). Saya emang bertanggung jawab milihin parfum suami tiap parfumnya habis hahaha.

Still, sebenernya ya nggak usah sekalian beli decant buat saya sendiri, kan? Saya juga beli 2 botol parfum minimarket kemarin, buat iseng doang. Iseng yang nggak guna-guna amat.

Tahun ini saya hanya boleh beli dua botol, jadi total akan ada empat botol di fragrance wardrobe. Hanya boleh beli lagi kalau ada yang habis, dari daftar wishlist yang sudah saya tulis sebelumnya.. Decant juga harus stop dulu. Kecuali buat suami he he he… (tetep, soalnya dia juga harus milih dulu sebelum beli).

Lipstik

Saya pernah baca ada yang namanya lipstick economy: saat ekonomi memburuk, konsumen akan cenderung membeli barang-barang luks/mewah yang lebih terjangkau, misalnya lipstik dan make-up. 

Dewasa ini teori itu tidak lagi dianggap sebagai pakem, tapi buat saya sih lumayan berasa ya. Ada momen-momen saat pengeluaran besar banget, saya malah beli lipstik buat hiburan. Ketika pengen treat diri sendiri, saya beli lipstik. Jujur beli lipstik emang nyenengin banget. It’s small but makes us (me) feel prettier, dan bisa beli banyak sekaligus.

Jujur tahun 2024 di departemen lipstik saya lumayan jebol. Udah gitu masih ada yang pengen dibeli 😅 jadi tahun ini saya batasi tiga produk baru aja untuk lipstik, dan boleh beli lagi kalau ada yang habis.

Per membereskan tulisan ini, saya menghabiskan empat lipstik tahun kemarin dan membuang dua lipstik yang kadaluwarsa. Mudah-mudahan akhir tahun depan saya bisa membuang lipstik karena habis saja, bukan karena kadaluwarsa.

Tas

Untuk tas, Memang sih tas-nya sebagian besar merupakan wishlist, tapi tetap saja ada yang ngga pengen-pengen banget. Selain itu, saya juga menyadari satu tren: kadang, saya akan beli versi murah dari suatu barang karena saya belum bisa beli versi yang saya mau (karena lebih mahal).

Ujungnya? Ya nggak puas juga. Pasti akan ada yang kurang sreg: entah bahannya, entah fit-nya, dan lain sebagainya.

Per tahun ini, saya hanya boleh membeli satu buah tas dari wishlist saya. Sebenarnya ini agak berat nih mengingat wishlist saya ada sepanjang jalan kenangan, tapi come to think of it, jadinya saya bisa memilih berdasar skala prioritas. Itu pun kalau ada uangnya; kalau ada kebutuhan yang lebih penting, skip! 

Sepatu

Berbeda dengan tas, saya nggak terlalu tertarik dengan sepatu. Jadi saya memang hanya membeli sepatu atau sandal saat perlu, yang akhirnya malah menghasilkan masalah baru: asal beli.

Sepatu-sepatu saya rata-rata hanya bertahan satu sampai dua tahun. Saya selalu menyalahkan kaki saya yang tipenya lebar dan cara berjalan saya yang memang sedikit berbeda sehingga cenderung membuat sepatu lebih mudah aus. Tapi kerusakan sepatu itu juga terjadi karena saya tidak membeli sepatu yang berkualitas tinggi.

Beli sepatu buat saya adalah pemborosan. Toh ujungnya juga cepat rusak, pikir saya. Setelah melihat dua sepatu Skechers saya awet menahan badai dan hujan, barulah saya sadar, daripada beli barang yang cepat rusak, saya harus investasi dengan sepatu yang berkualitas lebih baik dan durable.

Ada dua footwear yang harus saya beli tahun ini—sandal untuk sehari-hari dan sepatu kantor. Jadi, target saya tahun ini adalah membeli dua barang tersebut dengan kualitas terbaik yang saya mampu. That means, keluar budgetnya harus se-berani budget beli tas. Nah, ada rekomendasi? 

Furnitur dan Home Decor

Rumah udah tiga tahun ditempati tapi masih polosan aja hahahah. Jadi ada niatan beli barang-barang buat hiasan lucu. Tapi berhubung awal tahun ini ada proyek renovasi kecil (tapi besar di dompet), saya jadi harus memikirkan ulang. 

Pada dasarnya prinsip mengisi rumah itu harus dimulai dari furnitur besar. Karena di rumah kami belum ada meja makan dan dipan, saya berencana menabung untuk dua benda tersebut.

Kalau home decor, udah dari kemarin saya tertarik pengen pasang art prints. Foto pernikahan sudah diturunkan, jadi dinding rumah saya agak polosan. Pengen beli art prints tapi saya juga masih bingung mau pasang yang seperti apa, jadi nggak boleh beli sembarangan.

Target:

Tidak Boleh Dibeli (Lampu Merah)

Daftar yang di bawah ini kebanyakan benda-benda kecil. Sekilas kayak nggak bikin keuangan jebol tapi nyatanya iya.

Terkait buku, saya sudah mengalihkan pembelian ke buku digital yang lebih hemat dari segi harga dan ruang yang dihabiskan. Tapi buku digital tetep bikin saya beli sembarangan, terutama di halaman best deal 1-2 dolar.

Daripada beli 6 buku seharga USD 2 yang nggak pengen-pengen amat, lebih baik beli satu buku seharga USD 12.

Begitu juga dengan alat tulis. Sebenernya saya nggak ada urgensi beli alat tulis karena di kantor sudah disediakan. Tapi tetap saja kemarin FOMO pengen bikin jurnal manual. Beli planner, berbagai macam memopad, stiker, pulpen. Tetap aja ujungnya pakai yang dari kantor wkwkwk. Sebuah pelajaran yang menghabiskan uang seratus ribu rupiah.

Aplikasi adalah hal yang sulit saya tahan—namely karena saya suka banget oprek-oprek aplikasi dan nyobain aplikasi baru. Saya ngga segan beli aplikasi premium kalau reviewnya bagus.

Per 2024 saya memutuskan fokus menggunakan default apps sebagai aplikasi yang mendukung keseharian, dan kayaknya itu lumayan ngefek sama cara saya mengonsumsi aplikasi. Udah lama banget saya ga buka app store untuk sengaja belanja apps. Tahun 2025 trennya akan dijaga tetap begitu.

Untuk minuman manis dan kue, sebenernya saya udah ngelanggar itu di awal tahun haha. Saya beli kue dari teman. Tapi karena mendukung usaha teman jadi ada pengecualian deh (wkwkwk maaf licik dikit).

Terus, tahun kemarin saya sering banget beliin Abang kopi. Biasanya kalau saya lagi merasa pengen bikin dia senang atau saya lagi stres. Saya beli kopi atau minuman manis sekalian, karena sayang ongkir.

Ada momen di mana sebulan hampir tiap minggu beli kopi. And as people know, salah satu kebocoran finansial adalah kopi.

Implikasi dari sekadar beli kopi ini panjang. Saya harus manage stres (supaya ngga tergoda beli kopi), Abang bikin kopi sendiri (yang Alhamdulillah terwujud karena sudah ganti kulkas yang bisa bikin es batu dengan proper) dan menabungkan uang ysng biasanya dipakai beli kopi.

Belajar Mindful Spending Sedikit Demi Sedikit

Dulu, saya termasuk percaya diri dalam mengelola keuangan. Saya pintar berhemat, terlebih sebagai generasi roti lapis yang harus siap-siap dengan berbagai keperluan tak terduga.

Seiring waktu,   kondisi keuangan saya sudah lebih baik—meskipun tentu saja kebutuhan lain bertambah—dan ternyata saya baru sadar, kalau saya belum mempersiapkan diri bagaimana cara mengelola pendapatan lebih.

Berhemat bila memang belum ada uangnya memang mudah. Tidak ada godaan karena toh uangnya juga memang tidak ada. Ada kebutuhan yang lebih diprioritaskan sehingga saya tidak perlu ambil pusing.

Kini, saat ada dana yang bisa dipisahkan untuk bersenang-senang, ada “balas dendam” di dalamnya. Sesuatu yang dulu tidak terbayang bisa dimiliki, akhirnya bisa dibeli sendiri. Apa yang dulu harus dibatasi, kini bisa saya beli tanpa berpikir lagi. Tapi apa pun yang tidak dibatasi pada ujungnya pasti akan merugi.

Well, especially when you’re a DINK couple—double income with no kids (but three cats). Pendapatan bisa terasa sangat disposable. Saya bersyukur karena punya kesempatan ini; maka berikutnya waktunya saya mengelola dengan lebih baik.

Semoga statement saya di atas bisa dilaksanakan. To keep myself accountableI will post some money diary updates— semacam laporan publik singkat tentang ke mana larinya uang saya sehari-hari.

Sampai besok lagi,

Mega


thanks for reading!

kirim komentar lewat email atau mention saya di threads.

Suka baca tulisan saya? langganan atau dukung saya lewat nihbuatjajan.

#2025 #Money #blog